04 Desember 2007

MENANGKAP TUHAN

Tulisan ini diambil dari buku "PEMBURU TUHAN" karangan Tommy Tenney, penerbit Immanuel, halaman 5, dengan perubahan seperlunya.




Menangkap Tuhan!
Bukankah itu suatu ungkapan yang menarik? Menangkap-Nya!
Sebenarnya itu merupakan ungkapan yang mustahil. Menangkap Tuhan jauh lebih sukar daripada timur menangkap barat; jarak mereka terlalu jauh untuk dipindahkan satu dengan yang lainnya.

Hal itu sama dengan ketika saya bermain kejar-kejaran dengan anak perempuan saya. Seringkali ketika ia pulang sekolah, sepanjang hari kami bermain permainan kecil ini, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar bapak dan anaknya di seluruh dunia.
Pada saat anak saya mengejar dan berusaha menangkap saya, sekalipun dengan gerakan yang diperlambat, saya benar-benar tidak perlu lari untuk menghindar. Saya hanya perlu mengelak dengan trampil, dan ia bahkan tidak dapat menyentuh saya, karena anak berumur 6 tahun belum bisa menangkap orang tua.
Namun sebenarnya itu bukanlah tujuan dari permaianan ini, sebab beberapa menit kemudian, ia tertawa sambil berkata, " Ah, ayah," dan pada saat itulah ia menangkap hati saya. Ia telah menangkap hati saya, dan bukan tubuh saya. Kemudian saya akan berbalik mengejarnya, menangkapnya, dan kami berguling-guling di rumput. Si pengejar menjadi yang dikejar.

Oleh karena itu, dapatkah kita menangkap Tuhan?
Sebenarnya tidak dapat. Tetapi kita dapat menangkap hati-Nya. Raja Daud telah melakukannya!
Dan jika kita berhasil menangkap hati-Nya, maka Ia berbalik dan mengejar kita. Itulah keindahan seorang pemburu Tuhan. Kita sedang mengejar sesuatu yang mustahil, tetapi kita tahu bahwa hal itu tidak mustahil.

Sang pengejar menjadi yang dikejar.....



Thanks Lord for You've done for me,
iwan

03 Desember 2007

SENYUM

Beberapa hari ini aku agak jengkel dengan anak pertamaku, Atika. Penyebabnya karena kelihatannya dia kalau disuruh ini itu koq kelihatan lamban sekali dan bersungut-sungut, tidak semangat. Mungkin itu karena dia saat ini terlalu banyak belajar dalam rangka menjalani test tengah semesternya yang berturut-turut selama 2 minggu.

Puncaknya tadi siang, aku agak marah karena sungut-sungut dan lambannya. Capai kerja dan merasa tidak ada rasa simpati, maka melayanglah sebuah tendangan. Aku tendang dia. Tapi itu tendangan yang nggak menyakitkan lho, cuma tendangan pura-pura di pantat. Tapi lalu aku lihat ada air mata di sudut matanya. Aku jadi menyesal...

Apa nilai rohaninya? Kelihatannya tidak rohani sama sekali.
Ada! Karena setelah itu ada suara dalam hati nuraniku. Pelan tapi terdengar jelas.
"Apakah Aku juga tidak berhak atas senyummu? Bukankah Aku juga telah berbuat yang terbaik bagimu? Mengapa sungut-sungut dan lamban tidak bergairah yang seringkali Aku dapatkan?"
Nah...
Aku jadi ingat kalau aku seringkali bersungut-sungut juga dalam menjalani hidup ini. Seringkali masalah kecil saja telah mengambil pergi senyumku. Seringkali aku mengeluh tentang ini itu. Seringkali aku ngomel....

Padahal penggalan doaku tadi pagi masih aku ingat dengan jelas, "Bapa, biarlah aku dapat melihat situasiku seperti Engkau melihatnya. Biarlah aku dapat melihat grand design-Mu dalam hidupku ini. Dalam pandanganku saat-saat ini mungkin adalah saat yang paling tidak mengenakkan. Tapi aku tahu bahwa kalau Kau ijinkan aku berada dalam keadaan ini, maka Kau punya rencana yang baik bagiku."

Dan malam ini, ketika aku menulis blog ini, suara yang sama terdengar lagi....
"Berbahagialah orang yang tidak melihat tapi percaya. Hiduplah bukan karena melihat, bukan karena merasakan, tapi karena iman kepada-Ku. Percayalah, rancangan-Ku adalah rancangan yang terbaik bagimu."

Aku juga masih ingat pagi tadi aku juga menggemakan lagi mazmur Daud:
"Engkau adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Engkau membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Engkau menyegarkan jiwaku. Engkau menuntunku di jalan yang benar.
Engkau menyediakan makananku di hadapan lawanku. Sekalipun aku berjalan lewat jalan yang kelam, aku tidak takut bahaya, karena tongkat-Mu dan gada-Mu itulah yang memimpin aku."


Bapa, terima kasih Engkau telah memberi pelajaran lewat anakku. Ampuni aku untuk sungut-sungut dan lamban tak bergairahku. Aku akan berusaha untuk lebih banyak tersenyum dalam hidupku. Aku percaya Kau akan memberi kekuatan yang baru bagiku dan juga kesegaran yang baru bagi tubuh, jiwa, dan rohku.
Bapa, Engkau layak, bahkan amat sangat layak menerima banyak senyumku!




Terima kasih Bapa, Kau telah buat segala sesuatu jadi baru bagiku,
iwan